Kritik Putusan Pemilu Dipisah, PKB: MK Bertransformasi Jadi Lembaga Perumus UU
MK Dinilai Melewati Batas Kewenangan Konstitusional
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan Pemilu nasional dan daerah terus menuai kritik dari berbagai pihak, termasuk dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Anggota Komisi II DPR RI, Muhammad Khozin, menyebut bahwa MK telah melampaui peran sebagai guardian of constitution dan justru bertransformasi menjadi lembaga pembentuk undang-undang ketiga setelah Presiden dan DPR. Ia menilai MK seharusnya berperan sebagai negative legislator, bukan positive legislator yang menciptakan norma baru.
Kontradiksi Putusan dan Potensi Inkonsitusionalitas
Khozin menyoroti adanya kontradiksi antara putusan MK Nomor 135/2025 dengan putusan sebelumnya Nomor 55/2019. Dalam putusan lama, MK menolak menentukan model keserentakan Pemilu karena dianggap sebagai tugas pembuat undang-undang. Namun, dalam putusan terbaru, MK justru memerintahkan pelaksanaan Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal secara terpisah. Ia memperingatkan bahwa implementasi putusan ini berpotensi menabrak konstitusi, khususnya Pasal 22E dan Pasal 18 ayat 3 yang mengatur pelaksanaan Pemilu setiap lima tahun.
Usulan Amandemen dan Rekayasa Konstitusional
Sebagai respons atas putusan tersebut, PKB mengusulkan adanya amandemen terbatas terhadap Undang-Undang Kepemiluan. Khozin menyebut bahwa revisi UU Pemilu tidak bisa berdiri sendiri, melainkan harus dilakukan secara menyeluruh melalui pendekatan omnibus law yang mencakup UU Pemilu, UU Pemda, dan UU lainnya yang terdampak oleh amar putusan MK. Ia menekankan pentingnya rekayasa konstitusional agar tidak terjadi kekacauan hukum dan agar MK tidak menjadi jalan pintas untuk menolak produk legislasi yang sah.